FAKTA YURIDIS AKSEPTASI KELAS JAUH

DAN CACAT BAWAAN PENGATURANNYA

(Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Kesehatan Kelas Jauh atau
Penyelenggaraan Program Studi di Luar Domisili Perguruan Tinggi Kesehatan
Sesungguhnya Tidaklah Dilarang Meskipun Terdapat Diskriminasi)




dipostkan kembali untuk menambah referensi kita bersama. diambil dari sumber yang terbit duluan.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai kajian lanjutan seputar
polemik penyelenggaraan pendidikan tinggi kelas jauh yang telah ditulis
sebelumnya dengan judul "Kajian Hukum Mengenai Validitas Pendidikan Tinggi
Kesehatan Kelas Jauh Dan Keabsahan Ijazah Lulusannya". Dengan tulisan ini
diharapkan khususnya sebagai upaya ikut sumbang pikir dan saran bagi bahan
pertimbangan para pemangku kepentingan dalam memberikan solusi bagi berbagai
permasalahan yang dialami oleh lulusan perguruan tinggi kesehatan kelas jauh
atau yang penyelenggaraan program studinya dilakukan di luar domisili perguruan
tinggi kesehatan induknya (selanjutnya dalam kajian ini penggunaan istilah
�kelas jauh� yang dimaksudkan adalah penyelenggaraan program studi di luar
domisili perguruan tinggi).

Bila dalam kajian sebelumnya telah disampaikan bahwa dimulai
pada tahun 1997 pemerintah melalui pejabat yang menangani urusan pendidikan
tinggi telah menerbitkan selembar surat (hanya surat dan bukan peraturan
perundang-undangan) yang berisi larangan penyelenggaraan program studi dengan
cara kelas jauh. Dan sebagaimana diketahui pula bahwa meskipun pemerintah dengan
surat itu melarang penyelenggaraan pendidikan tinggi kelas jauh, tetap saja pada
kenyataan dilapangan beberapa perguruan tinggi bahkan oleh perguruan tinggi
terkenal yang dengan �nyamannya� tetap menyelenggarakan pendidikan tinggi kelas
jauh. Namun hal �kenyamanan� tersebut tidak berlaku bagi perguruan tinggi yang
kecil-kecil terutama perguruan tinggi di daerah. Diantara ketidaknyamanan yang
dialami oleh perguruan tinggi yang kecil-kecil itu terutama penyelenggara
perguruan tinggi kesehatan di daerah yaitu adanya pengaduan ke polisi dan bahkan
sampai diproses pidana di pengadilan.

Oleh karena itu tidaklah heran bahwa bila ada aksi maka tentu
akan ada reaksi. Aksi dari sikap pemerintah yang melarang tersebut dan reaksi
dari masyarakat terhadap aksi tersebut, baik masyarakat yang dirugikan secara
langsung maupun bagi masyarakat yang tidak dirugikan secara langsung. Berbagai
polemik telah muncul dan terjadi. Dan sebagai hasil dari perjuangan yang
dilakukan oleh sebagian masyarakat (terutama masyarakat yang dirugikan) terhadap
munculnya polemik itu maka pada akhirnya pada tahun 2009 mulailah tersibak �bottle
neck
�nya atau mulai menampakkan seberkas cahaya terang meskipun belum terang
seluruhnya. Seberkas cahaya terang tersebut ditandai dengan (pada akhirnya)
adanya pengakuan tertulis dari pemerintah yang membolehkan penyelenggaraan
pendidikan tinggi kelas jauh tersebut. Bukti pengakuan pemerintah terhadap fakta
kebutuhan masyarakat terhadap akses pendidikan tinggi adalah dengan menerbitkan
peraturan (bukan berupa selembar surat lagi) yaitu Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 30 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Program Studi Di Luar
Domisili Perguruan Tinggi.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 30 Tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Program Studi Di Luar Domisili Perguruan Tinggi

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 30 Tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Program Studi Di Luar Domisili Perguruan Tinggi, yang
selanjutnya disingkat Permendiknas 30/2009 merupakan sebuah peraturan yang
meskipun terdiri dari hanya 5 (lima) pasal namun bila diibaratkan sebuah buah
maka buahnya adalah buah yang bila dimakan dapat menghilangkan rasa dahaga dan
lapar para musafir untuk sementara waktu selama dalam perjalanan hingga
sampainya di tempat tujuan nantinya. Artinya bahwa dengan mencermati isi
normanya maka beberapa hal yang dipolemikkan selama ini tentang penyelenggaraan
pendidikan tinggi kelas jauh telah tertampung sebagian aspirasi masyarakat dan
telah terjawabnya sebagian pertanyaan-pertanyaan yang muncul khususnya seputar
permasalahan legalitas atau halal � haramnya kelas jauh tersebut.
Dengan ditetapkannya peraturan ini maka permasalahan larangan
penyelenggaraan kelas jauh sebagaimana tercantum dalam selembar surat dari
pejabat terkait dulu itu menjadi tergugurkan sehingga sesungguhnya atau pada
hakikatnya tidaklah dilarang penyelenggaraan kelas jauh tersebut. Dengan kata
lain dapat dikatakan bahwa kelas jauh itu adalah halal dan sesungguhnya tidaklah
haram.

Memang patut disadari dan dimaklumi bahwa tidak ada sesuatu
yang langsung sempurna. Ketidaksempurnaan itu dikarenakan adanya berbagai
kekurangan-kekurangan. Begitu juga dalam membuat sebuah peraturan yang baru
pertama kali dibuat untuk mengatur sesuatu hal yang selama ini belum diatur.
Untuk dapat diketahui kekurangan-kekurangan itu tentu diperlukan adanya sikap
yang kritis dan analitis.

Oleh karena itu berikut ini akan dikaji beberapa kekurangan
yang terdapat dalam Permendiknas 30/2009, diantaranya yaitu:


  1. ketidakpastian hukum waktu pemberlakuan Permendiknas 30/2009;

  2. diskriminasi pengaturan persyaratan penyelenggara kelas jauh;

Dan sebelum lebih lanjut dilakukan pembahasan masing-masing
sub topik sebagaimana disebut pada huruf a dan huruf b di atas, maka terlebih
dahulu patut dihargai dan diapresiasi upaya pemerintah dengan menetapkan
Permendiknas 30/2009 tersebut sebagai bagian dari upaya peningkatan akses warga
negara terhadap pendidikan tinggi.


Upaya Peningkatan Akses Warga Negara Terhadap Pendidikan
Tinggi


Dengan ditetapkannya Permendiknas 30/2009 maka hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah pada akhirnya dapat menerima fakta yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat yaitu dengan tidak lagi melarang penyelenggaraan
pendidikan tinggi kelas jauh atau penyelenggaraan program studi di luar domisili
perguruan tinggi. Sikap pemerintah yang menerima fakta tersebut secara filosofis
dan sosiologis dapat disimak isi konsideran menimbang pada Permendiknas 30/2009
tersebut:





a. bahwa sebagai salah satu upaya mendukung
peningkatan akses warga negara pada pendidikan tinggi yang bermutu,
sumber belajar harus didekatkan dengan domisili peserta didik
;




Dalam hal ini dapat diartikan bahwa pemerintah dengan tegas
menyatakan keharusan �mendukung� terhadap upaya peningkatan akses warga negara
terhadap pendidikan tinggi dan bukan sebaliknya dengan melarang seperti yang
telah dilakukan oleh pejabat terkait sejak tahun 1997 hingga tahun 2009.

Bentuk dukungan upaya peningkatan akses warga negara terhadap
pendidikan tinggi tersebut yaitu dilakukan dengan cara mendekatkan
penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan domisili peserta didik yang diantaranya
dilakukan dengan membuka program studi di luar domisili perguruan tinggi. Hal
ini berarti bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi yang selama ini dilakukan
melalui penyelenggaraan kelas jauh telah diterima dan diakui oleh pemerintah
sebagai bagian upaya peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi.

Dengan demikian, sejak ditetapkannya Permendiknas 30/2009
tersebut maka polemik legalitas penyelenggaraan pendidikan tinggi kelas jauh
harus dihentikan. Meskipun hal ini patut diapresiasikan namun sikap kritis dan
analitis patut pula dilakukan terhadap ditetapkannya Permendiknas 30/2009
tersebut. Sikap kritis yang dimaksud dalam hal ini adalah terkait dengan adanya
beberapa permasalahan yang masih/akan terjadi dan belum terselesaikan.


Ketidakpastian Hukum Waktu Pemberlakuan Permendiknas 30/2009


Pembahasan pada subtopik ini sangat menarik karena adanya 2 (dua)
norma yang saling bertolak belakang. 2 (dua) norma yang dimaksudkan yaitu Pasal
4 ayat (2) dan Pasal 5 Permendiknas 30/2009.

Pasal 4 ayat (2) Permendiknas 30/2009 berbunyi:




Perguruan tinggi penyelenggara program studi di luar
domisili wajib menyesuaikan diri dengan Peraturan Menteri ini paling
lambat 2 (dua) tahun sejak ditetapkan Peraturan Menteri ini
.



Sementara itu, bunyi norma Pasal 5 Permendiknas 30/2009:




Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan
.





Dan sesuai dengan tanggal yang tertera pada bagian akhir
Permendiknas 30/2009 tersebut maka tanggal ditetapkannya Permendiknas 30/2009
adalah pada tanggal 1 Juli 2009.














Ditetapkan di
Jakarta

pada tanggal
1 Juli 2009

MENTERI
PENDIDIKAN NASIONAL,

TTD.

BAMBANG
SUDIBYO














Dengan bunyi norma Pasal 4 ayat (2) tersebut maka dapat
ditafsirkan berlakunya Permendiknas 30/2009 tersebut bagi perguruan tinggi yang
telah dan sedang menyelenggarakan kelas jauh adalah paling lambat 2 (dua) tahun
dihitung dari tanggal 1 Juli 2009 yaitu tanggal 1 Juli 2011. Namun kemudian
dengan dibuatnya bunyi norma seperti Pasal 5 tersebut yang bermaksud lain lagi
yaitu dengan menyatakan mulai berlakunya Permendiknas 30/2009 adalah pada
tanggal ditetapkan yaitu tanggal 1 Juli 2009, maka sangat jelas sekali timbul
ketidakpastian hukum dalam hal waktu pemberlakuan.

Belum lagi bila dicermati dan dihubungkan dengan bunyi norma
Pasal 4 ayat (1). Pasal 4 ayat (1) Permendiknas 30/2009 berbunyi :




Penyelenggaraan program studi di luar domisili yang
tidak memenuhi Peraturan Menteri ini dilarang, kecuali penyelenggaraan
Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi guru dalam jabatan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan Bagi Guru
Dalam Jabatan
.



Dengan bunyi norma Pasal 4 ayat (1) Permendiknas 30/2009 yang
seperti ini maka jelas sekali dan mudah ditafsirkan bahwa kelas jauh yang tidak
memenuhi persyaratan adalah dilarang penyelenggaraannya. Namun yang belum jelas
adalah kapan larangan tersebut mulai berlaku ?

Untuk mendapatkan jawaban yang jelas dan pasti tentu harus
didasarkan pada norma yang termuat di dalam peraturan itu sendiri. Nah,
disinilah permasalahannya. Di dalam Permendiknas 30/2009 terdapat 2 (dua) norma
yang mengatur waktu pemberlakuan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa
telah terdapat ketidakpastian hukum dalam hal waktu pemberlakuan, maka dalam
mendapatkan jawaban atas pertanyaan kapankah larangan tersebut mulai berlaku
menjadi sulit. Pasal 4 ayat (1) nya melarang, namun pada ayat (2) memberikan
waktu penyesuaian paling lambat 2 (dua) tahun sejak 1Juli 2009 dan lain lagi
dengan ketentuan Pasal 5 nya yang menyatakan mulai berlaku sejak ditetapkan.
Jelas sekali antar norma tersebut saling bertentangan. Bila norma Pasal 4 ayat
(1) dihubungkan dan disinkronkan dengan norma Pasal 5 maka norma Pasal 4 ayat
(2) seharusnya tidak ada.

Sehingga dengan berdasarkan pembahasan di atas maka dari segi
norma waktu pemberlakuan, telah termuat norma yang dapat menimbulkan multi
tafsir. Kemungkinan multi tafsir tersebut dapat digambarkan sebagai berikut,
yaitu:


  1. Permendiknas ini mulai berlakunya bukan tanggal 1 Juli 2009 tapi (dapat/dimungkinkan)
    sesungguhnya tanggal 1 Juli 2011�!!;

  2. bagi perguruan tinggi yang telah dan sedang menyelenggarakan kelas jauh
    maka Permendiknas ini berlakunya mulai (paling lambat) 1 Juli 2011 dan bukan
    tanggal 1 Juli 2009 �!!;

  3. bagi perguruan tinggi yang baru maka Permendiknas ini mulai berlaku pada
    tanggal 1 Juli 2009 �!!!; dan/atau

  4. penafsiran lainnya

Penafsiran � penafsiran seperti itu tentu juga dilihat dari
sudut mana penilaiannya dan untuk kepentingan apa penafsirannya. Beginilah
akibat bila tidak adanya kepastian hukum dalam sebuah norma yang disusun.

Bila sudah seperti ini maka terhadap pertanyaan tentang
kepastian hukum waktu pemberlakuan Permendiknas 30/2009 menjadi dapat dijawab
adalah tidak jelas. Dan terhadap pertanyaan tentang kenapa normanya dibuat
seperti itu sehingga timbul ketidakpastian hukum maka jawabannya adalah .....
Allahualam (saya tidak tahu) dan sebaiknya mari ditunggu saja waktu berlalu
hingga sampailah kita ke tanggal 1 Juli 2011. Dan apabila tanggal 1 Juli 2011
telah sampai maka segala penafsiran tersebut di atas dengan sendirinya akan
gugur atau sangat diharapkan sebelum tanggal 1 Juli 2011 telah terjadi perubahan
peraturan sehingga terdapat kepastian hukum dalam hal ini.


Diskriminasi Pengaturan


Di samping permasalahan ketidakpastian hukum dalam norma
waktu pemberlakuannya maka juga patut dicermati permasalahan diskriminasi dalam
norma persyaratan penyelenggara kelas jauh. Persyaratan penyelenggaraan
pendidikan tinggi kelas jauh diatur dalam Pasal 3 Permendiknas 30/2009, yang
berbunyi sebagai berikut:



Pasal 3





(1) Penyelenggaraan program studi di luar
domisili wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:


a. program studi di luar domisili
melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi secara utuh,
konsisten, dan berkelanjutan, yang    antara lain tercermin dari penyediaan anggarannya;

b. perguruan tinggi penyelenggara program
studi di luar domisili telah memperoleh akreditasi A untuk
program studi yang sama di domisili perguruan tinggi
tersebut;

c. program studi di luar domisili harus
memperoleh peringkat akreditasi yang sama dengan program
studi di domisili perguruan tinggi paling lambat 3 (tiga)
tahun;

d. program studi di luar domisili
diselenggarakan dengan kebijakan, manual, standar, dan
dokumen penjaminan mutu yang sama dengan program studi di
domisili perguruan tinggi tersebut;

e. penyelenggaraan program studi di luar
domisili dilakukan untuk memenuhi minat calon mahasiswa pada
program studi tersebut yang belum dapat dipenuhi oleh
perguruan tinggi setempat;

f. penyelenggaraan program studi di luar
domisili didukung oleh pemerintah daerah kabupaten/kota
setempat;

g. penyelenggaraan program studi di luar
domisili telah dicantumkan di dalam Rencana Strategis 5
(lima) tahun perguruan tinggi penyelenggara;

h. kurikulum program studi di luar
domisili ditetapkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan
sama dengan kurikulum program studi di domisili perguruan
tinggi tersebut, kecuali diperlukan kekhasan kurikulum untuk
memenuhi kebutuhan setempat;

i. memiliki program kegiatan akademik
yang memuat jurusan/bagian, tujuan, silabi, peraturan
akademik dan administratif, serta standar substansi maupun
prosedur ujian yang dimuat dalam buku pedoman/katalog khusus
untuk program studi di luar domisili;

j. dosen tetap pada setiap program studi
di luar domisili paling sedikit berjumlah 6 (enam) orang
dengan latar belakang pendidikan sama atau sesuai dengan
program studi di luar domisili, dengan rincian sebagai
berikut:











1.
untuk program D I sd. D
IV : 6 (enam) orang
berpendidikan S2;

2.
untuk program S1 : 6 (enam)
orang berpendidikan S2;

3.
untuk program S2 : 6 (enam)
orang berpendidikan S3;

4.
untuk program S3 : 6 (enam)
orang berpendidikan S3,
paling sedikit 2 (dua)
orang diantaranya guru
besar;










k. terdapat tenaga kependidikan yang
khusus ditempatkan di program studi di luar domisili sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;

l. mahasiswa pada program studi di luar
domisili paling sedikit 30 (tiga puluh) orang dan paling
banyak wajib memenuhi nisbah dosen tetap dengan mahasiswa:


1. untuk kelompok bidang ilmu
pengetahuan sosial 1 : 30;

2. untuk kelompok bidang ilmu
pengetahuan alam 1 : 20;



m. sumber pendanaan program studi di luar
domisili disediakan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan
untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan program studi
tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

n. memiliki lahan sendiri atau disewa
atau dikontrak untuk jangka waktu paling sedikit 5 (lima)
tahun dengan hak opsi, yang dinyatakan dalam perjanjian;

o. sarana dan prasarana lainnya dimiliki
sendiri atau disewaguna/kontrak untuk jangka waktu paling
sedikit 3 (tiga) tahun meliputi fasilitas fisik pendidikan,
yang dibuktikan dengan sertifikat atau perjanjian dengan
ketentuan minimal:


1. ruang kuliah : 0.5 m2 per
mahasiswa;

2. ruang dosen tetap : 4 m2
per orang;

3. ruang administrasi dan kantor : 4 m2
per orang;

4. ruang perpustakaan dengan jumlah
pustaka sebagai berikut:



a) paling sedikit 120 (seratus
dua puluh) judul buku (hard copy atau soft copy) per
program studi dan setiap judul buku (hard copy)
minimal memiliki 2 (dua) eksemplar; dan

b) paling sedikit 10 (sepuluh)
judul jurnal ilmiah (hard copy) per program studi;



p. memiliki akses pada sumber belajar
digital yang memberikan akses pada minimal 100 (seratus)
jurnal ilmiah digital yang relevan per program studi.


(2) Perguruan tinggi penyelenggara program
studi di luar domisili wajib mengajukan izin kepada Menteri
dengan melampirkan bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1).

(3) Menteri melakukan evaluasi secara berkala
untuk menjamin mutu program studi yang diselenggarakan di luar
domisili.

(4) Dalam hal perguruan tinggi penyelenggara
program studi di luar domisili melanggar Peraturan Menteri ini,
maka Menteri mengambil tindakan berupa:


a. pengurangan atau penghentian bantuan
penyediaan sumberdaya bagi program studi;

b. penghentian penyelenggaraan program
studi; atau


c. pencabutan izin program studi.






Menyimak isi Pasal 3 ayat (1) huruf b Permendiknas 30/2009
yang mensyaratkan bahwa penyelenggara pendidikan tinggi kelas jauh adalah





b. perguruan tinggi penyelenggara program studi
di luar domisili telah memperoleh akreditasi A untuk program studi
yang sama di domisili perguruan tinggi tersebut;





Dengan bunyi norma persyaratan seperti itu maka diartikan
bahwa hanya perguruan tinggi yang telah memperoleh akreditasi A saja yang
diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan tinggi kelas jauh. Bila demikian
adanya maka dengan bunyi norma seperti itu, secara ilmu perundang-undangan telah
terjadi pelanggaran terhadap asas penyusunan materi muatan peraturan
perundang-undangan. Asas yang dilanggar yang dimaksud adalah asas keadilan.

Menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (1) hurug g Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,




Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali
.



Dengan bunyi penjelasan seperti itu maka norma yang
terkandung dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b Permendiknas 30/2009 tersebut
jelas-jelas tidak menaati asas keadilan. Seharusnya siapapun tanpa kecuali
diperkenankan ikut berperan aktif dalam penyelenggaraan pembangunan pendidikan
tinggi di negara hukum yang tercinta ini. Jadi tidak membeda-bedakan.

Dan kalau pun diinginkan alasan demi menjaga mutu pendidikan
tinggi maka bukan pembatasan dalam hal subyek penyelenggara pendidikan tingginya
yang harus dilakukan oleh pemerintah tapi membuat, mengawasi, dan menegakkan
sistim dan mekanisme kontrol atau pengawasan yang ketat terhadap proses
penyelenggaraan kegiatan pendidikan tinggi kelas jauh yang harus sesuai dengan
standar pendidikan nasional dan standar kurikulum serta standar � standar
lainnya. Dengan kata lain bukan formalitas yang diharapkan tapi
substansi/materiil-lah yang utama. Artinya bahwa secara substansi atau materiil
lah yang lebih penting daripada hanya sekedar formalitas awal diatas kertas
saja. Bahkan dapat diperjelas lagi bahwa yang lebih penting dalam menjaga mutu
pendidikan tinggi kelas jauh itu adalah pelaksanaan akreditasi pada proses

penyelengaraan pendidikan tinggi kelas jauh itu sendiri
secara langsung daripada berupa sebuah nilai akreditasi yang hanya tertera pada
selembar kertas dan apalagi nilainya diperoleh dari nilai akreditasi perguruan
tinggi induknya.

Bila hanya bersandarkan pada status perguruan tinggi induk
saja maka patut dipertanyakan tentang apakah menjadi jaminan bahwa mutu
pendidikan tinggi kelas jauh itu sendiri adalah juga baik. Padahal perguruan
tinggi induk itu sendiri yang status akreditasinya adalah akreditasi A juga
tidak menjadi jaminan bahwa mutu lulusannya akan lebih baik dari lulusan
perguruan tinggi yang terakreditasi bukan A. Untuk menjawab pertanyaan ini dapat
dikemukakan contoh nyata pada mutu lulusan uji kompetensi dokter. Dengan kata
lain sebagai contoh tidak adanya jaminan mutu pendidikan tinggi dari perguruan
tinggi terakreditasi A akan menghasilkan lulusan yang bermutu dan kompeten,
yaitu dapat dikemukakan bahwa penyelenggara pendidikan tinggi profesi kedokteran
yang meskipun berstatus terakreditasi A dan dari universitas yang telah terkenal
ternyata tingkat kelulusan hasil uji kompetensi dokter para lulusannya tidak
lebih baik atau bahkan ada yang dibawah tingkat kelulusan uji kompetensi para
lulusan dari fakultas kedokteran yang terakreditasi dibawah nilai A dan dari
universitas yang tidak terkenal. Sekedar diketahui bahwa uji kompetensi dokter
tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan dari amanah Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dalam rangka memberikan perlindungan
kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat, dokter dan dokter gigi.

Bila dengan contoh seperti itu yang ternyata perguruan tinggi
yang dengan nilai akreditasi A tidaklah menjadi jaminan bahwa lulusannya akan
pasti bermutu dan berkompeten maka tidak sepantasnyalah dilakukan diskriminasi
kelas atau strata dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi kelas jauh. Bila hal
ini terus dibiarkan oleh pemerintah maka sama saja pemerintah hanya
memperhatikan dan melakukan pengawasan formalitas saja dan bukan dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan tinggi itu sendiri khususnya mutu dan kompetensi
lulusannya.

Oleh karena itu yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah
pengawasan dan/atau akreditasi yang ketat secara substansi proses pendidikannya
yaitu melalui akreditasi penyelenggaraan proses pendidikan tinggi kelas jauh
tersebut dan bukan pada segi formalitas dari subyek penyelenggara pendidikan
tinggi.



Di samping adanya pelanggaran asas keadilan tersebut, maka
dengan norma seperti yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tersebut juga
dilanggar adalah hak asasi yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak mendapat
pendidikan, hak memilih pendidikan, hak kesempatan dan perlakuan yang sama, dan
hak asasi lainya yang terkait dengan bidang pendidikan.

Dan juga dengan norma seperti yang tercantum dalam Pasal 3
ayat (1) huruf b tersebut dapat diibaratkan juga akan terjadinya �yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin� atau �yang pintar semakin pintar
dan yang bodoh semakin bodoh�. Tentu bukan yang begini yang sesungguhnya
diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat.


Solusi Keabsahan Ijazah Lulusan Kelas Jauh


Sebagaimana telah dibahas dalam tulisan sebelumnya bahwa
adanya fakta tentang tidak diakuinya ijazah para lulusan pendidikan tinggi
kesehatan kelas jauh oleh instansi pemerintah terkait sehingga hal ini sanggat
merugikan para lulusan tersebut karena tidak dapatnya digunakan ijazah tersebut
untuk proses peningkatan karir atau kenaikan pangkat di instansi tempat para
lulusan tersebut bekerja. Padahal diantara mereka itu yang mengikuti kuliah di
kelas jauh itu juga dengan berdasarkan izin atau persetujuan dari atasan
langsung mereka.

Hal yang merugikan itu terjadi semata-mata karena adanya
surat yang diterbitkan oleh pejabat yang menangani urusan pendidikan tinggi yang
menyebutkan dalam suratnya bahwa ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi
kelas jauh tidak sah. Sehingga hal itu tentu saja berakibat pada tidak dapatnya
digunakan ijazah mereka tersebut untuk keperluan pengangkatan maupun peningkatan
jenjang karir. Ironis dan miris sekali.

Terkait dengan isi surat yang melarang dan menyatakan tidak
sah tersebut maka telah dikaji dalam tulisan sebelumnya bahwa surat tersebut
bukanlah termasuk kategori peraturan perundang-undangan dan surat tersebut
sesungguhnya adalah surat biasa yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak
adanya validitas dan legalitas norma hukum yang menjadi dasar terbitnya surat
tersebut. Dalam menyikapi surat tersebut pun dalam praktiknya ternyata
berbeda-beda. Oleh beberapa instansi pemerintah yang pegawainya menggunakan
ijazah dari perguruan tinggi kelas jauh itu tetap menerima dan melakukan proses
kenaikan pangkat mereka dan artinya bahwa isi surat tersebut diabaikan saja oleh
pimpinan instansinya. Namun tidak demikian halnya dengan beberapa instansi
pemerintah lainnya yang ternyata bersikap mengikuti dan mematuhi isi surat
tersebut sehingga hal seperti inilah yang sangat merugikan para lulusan
perguruan tinggi kelas jauh tersebut. Bila sampai tahun 2009 lalu polemik
keabsahan ijazah lulusan perguruan tinggi kelas jauh tersebut seperti tidak ada
ujungnya maka dengan ditetapkannya Permendiknas 30/2009 tersebut sudah
seharusnya instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang tidak mengakui ijazah
lulusan perguruan tinggi kelas jauh tersebut harus lebih bijaksana dan arif
dalam menyikapi ditetapkannya Permendiknas 30/2009. Seperti yang telah
dikemukakan pada bagian awal tulisan ini bahwa sesungguhnya dengan ditetapkannya
Permendiknas 30/2009 tersebut menandakan bahwa kebijakan pemerintah itu telah
mengakui dan menerima adanya penyelenggaraan pendidikan tinggi kelas jauh.

Dan sebagaimana diketahui bahwa sebelum ditetapkannya
Permendiknas 30/2009 ini tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang
melarang penyelenggaraan pendidikan tinggi kelas jauh. Dan kalaupun pernah
terdengar adanya larangan kelas jauh maka hal itu hanya tertuang dalam selembar
surat yang sama sekali bersifat surat biasa dan bukan kategori peraturan
perundang-undangan serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena
ketidakadaan validitas dan legalitas norma yang mendasari terbitnya surat
tersebut.

Dengan tidak adanya ketentuan peraturan perundang-undangan
sebelum ditetapkannya Permendiknas 30/2009 yang melarang penyelenggaraan
pendidikan tinggi kelas jauh tersebut maka tidak ada dasar hukum bagi siapa pun
untuk menolak mengakui dan menerima ijazah lulusan kelas jauh tersebut kecuali
atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa
terbukti ijazah tersebut adalah palsu.

Sebagai bukti bahwa ternyata tidak ada satu pun peraturan
perundang-undangan yang melarang kelas jauh atau penyelenggaraan program studi
di luar domisili perguruan tinggi sebelum ditetapkannya Permendiknas 30/2009
tersebut adalah dengan memperhatikan dan meneliti norma-norma dalam Permendiknas
30/2009 itu sendiri, yang ternyata bahwa tidak ada satu pun norma dalam
Permendiknas 30/2009 itu yang menyatakan mencabut dan menyatakan tidak berlaku
lagi suatu peraturan tertentu yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan
tinggi kelas jauh. Terhadap ketidakadaan norma pencabutan tersebut dan dengan
mempertimbangkan bahwa ketidakadaan itu bukan karena kelupaan atau
kekurangtahuan mengingat perdebatan tentang topik kelas jauh itu sendiri
merupakan sebuah polemik yang meresahkan sejak tahun 1997 maka dengan
berdasarkan pada ilmu perundang-undangan, hal itu diartikan bahwa memang belum
pernah dibuat sebuah peraturan perundang-undangan yang melarang penyelenggaraan
kelas jauh sebelum ditetapkannya Permendiknas 30/2009.Kemudian dengan menyimak
bunyi norma Pasal 4 ayat (2) Permendiknas 30/2009 itu yang menyatakan bahwa
adanya kewajiban untuk menyesuaikan diri bagi perguruan tinggi yang
menyelenggarakan program studi di luar domisili (kelas jauh) paling lambat 2 (dua)
tahun sejak 1 Juli 2009, maka dengan norma seperti ini dapat diartikan bahwa
pemerintah mengetahui dan mempertimbangkan serta mengakui fakta yang telah
terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang adanya penyelenggaraan pendidikan
tinggi kelas jauh sehingga perlu diberi kesempatan dan waktu untuk menyesuaikan
diri dengan peraturan yang baru dibuat ini.

Oleh karena itu dengan kajian hukum ini serta dengan merujuk
pada asas hukum yang berlaku umum yaitu asas legalitas, asas yang diartikan
sebagai asas yang menyatakan bahwa bila tidak ada aturan hukum yang melarang
maka tidak ada hukuman, sehingga menjadi tidak patut, tidak pantas, tidak bijak,
tidak adil, dan tidak berdasar hukum bila terhadap para lulusan perguruan tinggi
kelas jauh yang lulus sebelum ditetapkan atau diberlakukannya Permendiknas
30/2009 ini masih dikenakan hukuman berupa tidak adanya pengakuan ijazah mereka.
Seharusnya dengan berdasarkan asas legalitas tersebut maka ijazah lulusan
perguruan tinggi kelas jauh tersebut (suka tidak suka, mau tidak mau) harus
dianggap legal atau sah kecuali perguruan tinggi yang menyelenggarakan kelas
jauh tersebut tidak terakreditasi.

Mengingatkan kembali bahwa dalam hal validitas dan legalitas
norma keabsahan ijazah maka hanya norma hukum yang sebagaimana diatur dalam
Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan
Nasional yang dijadikan dasar hukum. Pasal 61 ayat (2) tersebut dengan tegas
menyatakan bahwa:




Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai
pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang
pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan yang terakreditasi.




Dengan demikian dalam hal keabsahan ijazah maka sepanjang
perguruan tinggi yang menerbitkan ijazah tersebut adalah perguruan tinggi yang
terakreditasi maka ijazah tersebut adalah sah atau legal. Dan bila sebaliknya
yaitu bila perguruan tinggi tersebut tidak terakreditasi maka barulah ijazah
tersebut menjadi tidak sah atau illegal sehingga dapat dikenakan sanksi pidana
bagi yang memberikan maupun yang menggunakannya.




Penutup


Seberkas cahaya terang telah terbersit ditengah-tengah
terjadinya polemik pendidikan tinggi kelas jauh. Meskipun baru seberkas cahaya
terang dan belum menyinari atau memberikan cahaya terang secara keseluruhan
namun dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 30 Tahun
2009 tentang Penyelenggaraan Program Studi Di Luar Domisili Perguruan Tinggi (Permendiknas
30/2009) sudah merupakan langkah maju dari pemerintah dalam rangka upaya
peningkatan akses pendidikan tinggi bagi masyarakat dan melaksanakan kewajiban
negara untuk pemenuhan hak memperoleh pendidikan tinggi bagi warga negara.

Meskipun di dalam Permendiknas 30/2009 ini terdapat berbagai
kekurangan yuridis namun sangat diharapkan dengan kajian ini dapat dijadikan
bahan untuk segera tercapai perubahan peraturan yang memenuhi asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas-asas materi muatan peraturan
perundang-undangan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan perubahan tersebut
maka berbagai permasalahan didapatkan solusinya. Proses terjadinya perubahan
yang diharapkan adalah sebaiknya perubahan peraturan yang dilakukan dalam rangka
executive review oleh pemerintah sendiri untuk memperbaiki
kekurangan-kekurangan yang ada dalam Permendiknas 30/2009 tersebut dan bukan
karena tindakan judicial review yang diajukan oleh masyarakat terhadap
Permendiknas 30/2009 tersebut kepada hakim Mahkamah Agung.

Sedangkan terhadap permasalahan keabsahan ijazah lulusan
pendidikan tinggi kelas jauh yang telah lulus sebelum ditetapkannya Permendiknas
30/2009 tersebut maka pimpinan instansi terkait harus dengan arif dan bijaksana
menerima dan mengakuinya sepanjang ijazah tersebut dikeluarkan oleh perguruan
tinggi yang terakreditasi sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistim Pendidikan Nasional beserta peraturan pelaksanaannya. Dengan
sikap yang arif dan bijaksana dari pimpinan instansi tersebut maka permasalahan
keabsahan ijazah para lulusan kelas jauh tersebut didapatkan solusi yang damai.

Oleh karena itu, dengan adanya perbaikan dan perubahan serta
kearifan dan kebijaksanaan tersebut yang menuju kemajuan bersama maka diharapkan
tidak ada lagi ungkapan kata-kata kecewa, seperti: "kok mau pinter aja dilarang",
"kok mau pinter aja susah", "hari gini, kuliah susah, apa kata dunia ?".

Mudah-mudahan dengan segala perjuangan dan kebaikan yang
dilakukan oleh segenap pihak yang pada akhirnya sepakat meneriakkan semangat "majulah
pendidikan tinggi Indonesia-ku", "jayalah selalu Indonesia-ku". (rb)



Daftar Pustaka:



Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang.
Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Attamimi, A. Hamid S. Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu
Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan
Dalam Kurun Waktu Pelita I � Pelita IV)
. Disertasi pada Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990.

Roberia. "Kajian Hukum Mengenai Validitas Pendidikan
Tinggi Kesehatan Kelas Jauh Dan Keabsahan Ijazah Lulusannya". Jurnal
Hukum Kesehatan. Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Kesehatan, 2009.

Hasil rekaman audio visual penyelenggaraan "Talk Show
Hardiknas 2010 tentang Polemik Pendidikan Tinggi Kelas Jauh dan Polemik
Akreditasi Perguruan Tinggi". Asosiasi Perguruan Tinggi Indonesia (APTI)
Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang. Mei 2010.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim
Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 30 Tahun
2009 tentang Penyelenggaraan Program Studi Di Luar Domisili Perguruan
Tinggi.







Pengantar


Tulisan ini dimaksudkan sebagai kajian lanjutan seputar
polemik penyelenggaraan pendidikan tinggi kelas jauh yang telah ditulis
sebelumnya dengan judul "Kajian Hukum Mengenai Validitas Pendidikan Tinggi
Kesehatan Kelas Jauh Dan Keabsahan Ijazah Lulusannya". Dengan tulisan ini
diharapkan khususnya sebagai upaya ikut sumbang pikir dan saran bagi bahan
pertimbangan para pemangku kepentingan dalam memberikan solusi bagi berbagai
permasalahan yang dialami oleh lulusan perguruan tinggi kesehatan kelas jauh
atau yang penyelenggaraan program studinya dilakukan di luar domisili perguruan
tinggi kesehatan induknya (selanjutnya dalam kajian ini penggunaan istilah
�kelas jauh� yang dimaksudkan adalah penyelenggaraan program studi di luar
domisili perguruan tinggi).

Bila dalam kajian sebelumnya telah disampaikan bahwa dimulai
pada tahun 1997 pemerintah melalui pejabat yang menangani urusan pendidikan
tinggi telah menerbitkan selembar surat (hanya surat dan bukan peraturan
perundang-undangan) yang berisi larangan penyelenggaraan program studi dengan
cara kelas jauh. Dan sebagaimana diketahui pula bahwa meskipun pemerintah dengan
surat itu melarang penyelenggaraan pendidikan tinggi kelas jauh, tetap saja pada
kenyataan dilapangan beberapa perguruan tinggi bahkan oleh perguruan tinggi
terkenal yang dengan �nyamannya� tetap menyelenggarakan pendidikan tinggi kelas
jauh. Namun hal �kenyamanan� tersebut tidak berlaku bagi perguruan tinggi yang
kecil-kecil terutama perguruan tinggi di daerah. Diantara ketidaknyamanan yang
dialami oleh perguruan tinggi yang kecil-kecil itu terutama penyelenggara
perguruan tinggi kesehatan di daerah yaitu adanya pengaduan ke polisi dan bahkan
sampai diproses pidana di pengadilan.

Oleh karena itu tidaklah heran bahwa bila ada aksi maka tentu
akan ada reaksi. Aksi dari sikap pemerintah yang melarang tersebut dan reaksi
dari masyarakat terhadap aksi tersebut, baik masyarakat yang dirugikan secara
langsung maupun bagi masyarakat yang tidak dirugikan secara langsung. Berbagai
polemik telah muncul dan terjadi. Dan sebagai hasil dari perjuangan yang
dilakukan oleh sebagian masyarakat (terutama masyarakat yang dirugikan) terhadap
munculnya polemik itu maka pada akhirnya pada tahun 2009 mulailah tersibak �bottle
neck
�nya atau mulai menampakkan seberkas cahaya terang meskipun belum terang
seluruhnya. Seberkas cahaya terang tersebut ditandai dengan (pada akhirnya)
adanya pengakuan tertulis dari pemerintah yang membolehkan penyelenggaraan
pendidikan tinggi kelas jauh tersebut. Bukti pengakuan pemerintah terhadap fakta
kebutuhan masyarakat terhadap akses pendidikan tinggi adalah dengan menerbitkan
peraturan (bukan berupa selembar surat lagi) yaitu Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 30 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Program Studi Di Luar
Domisili Perguruan Tinggi.


Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 30 Tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Program Studi Di Luar Domisili Perguruan Tinggi


Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 30 Tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Program Studi Di Luar Domisili Perguruan Tinggi, yang
selanjutnya disingkat Permendiknas 30/2009 merupakan sebuah peraturan yang
meskipun terdiri dari hanya 5 (lima) pasal namun bila diibaratkan sebuah buah
maka buahnya adalah buah yang bila dimakan dapat menghilangkan rasa dahaga dan
lapar para musafir untuk sementara waktu selama dalam perjalanan hingga
sampainya di tempat tujuan nantinya. Artinya bahwa dengan mencermati isi
normanya maka beberapa hal yang dipolemikkan selama ini tentang penyelenggaraan
pendidikan tinggi kelas jauh telah tertampung sebagian aspirasi masyarakat dan
telah terjawabnya sebagian pertanyaan-pertanyaan yang muncul khususnya seputar
permasalahan legalitas atau halal � haramnya kelas jauh tersebut.

Dengan ditetapkannya peraturan ini maka permasalahan larangan
penyelenggaraan kelas jauh sebagaimana tercantum dalam selembar surat dari
pejabat terkait dulu itu menjadi tergugurkan sehingga sesungguhnya atau pada
hakikatnya tidaklah dilarang penyelenggaraan kelas jauh tersebut. Dengan kata
lain dapat dikatakan bahwa kelas jauh itu adalah halal dan sesungguhnya tidaklah
haram.

Memang patut disadari dan dimaklumi bahwa tidak ada sesuatu
yang langsung sempurna. Ketidaksempurnaan itu dikarenakan adanya berbagai
kekurangan-kekurangan. Begitu juga dalam membuat sebuah peraturan yang baru
pertama kali dibuat untuk mengatur sesuatu hal yang selama ini belum diatur.
Untuk dapat diketahui kekurangan-kekurangan itu tentu diperlukan adanya sikap
yang kritis dan analitis.

Oleh karena itu berikut ini akan dikaji beberapa kekurangan
yang terdapat dalam Permendiknas 30/2009, diantaranya yaitu:


  1. ketidakpastian hukum waktu pemberlakuan Permendiknas 30/2009;

  2. diskriminasi pengaturan persyaratan penyelenggara kelas jauh;

Dan sebelum lebih lanjut dilakukan pembahasan masing-masing
sub topik sebagaimana disebut pada huruf a dan huruf b di atas, maka terlebih
dahulu patut dihargai dan diapresiasi upaya pemerintah dengan menetapkan
Permendiknas 30/2009 tersebut sebagai bagian dari upaya peningkatan akses warga
negara terhadap pendidikan tinggi.


Upaya Peningkatan Akses Warga Negara Terhadap Pendidikan
Tinggi


Dengan ditetapkannya Permendiknas 30/2009 maka hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah pada akhirnya dapat menerima fakta yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat yaitu dengan tidak lagi melarang penyelenggaraan
pendidikan tinggi kelas jauh atau penyelenggaraan program studi di luar domisili
perguruan tinggi. Sikap pemerintah yang menerima fakta tersebut secara filosofis
dan sosiologis dapat disimak isi konsideran menimbang pada Permendiknas 30/2009
tersebut:





a. bahwa sebagai salah satu upaya mendukung
peningkatan akses warga negara pada pendidikan tinggi yang bermutu,
sumber belajar harus didekatkan dengan domisili peserta didik
;




Dalam hal ini dapat diartikan bahwa pemerintah dengan tegas
menyatakan keharusan �mendukung� terhadap upaya peningkatan akses warga negara
terhadap pendidikan tinggi dan bukan sebaliknya dengan melarang seperti yang
telah dilakukan oleh pejabat terkait sejak tahun 1997 hingga tahun 2009.

Bentuk dukungan upaya peningkatan akses warga negara terhadap
pendidikan tinggi tersebut yaitu dilakukan dengan cara mendekatkan
penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan domisili peserta didik yang diantaranya
dilakukan dengan membuka program studi di luar domisili perguruan tinggi. Hal
ini berarti bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi yang selama ini dilakukan
melalui penyelenggaraan kelas jauh telah diterima dan diakui oleh pemerintah
sebagai bagian upaya peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi.

Dengan demikian, sejak ditetapkannya Permendiknas 30/2009
tersebut maka polemik legalitas penyelenggaraan pendidikan tinggi kelas jauh
harus dihentikan. Meskipun hal ini patut diapresiasikan namun sikap kritis dan
analitis patut pula dilakukan terhadap ditetapkannya Permendiknas 30/2009
tersebut. Sikap kritis yang dimaksud dalam hal ini adalah terkait dengan adanya
beberapa permasalahan yang masih/akan terjadi dan belum terselesaikan.


Ketidakpastian Hukum Waktu Pemberlakuan Permendiknas 30/2009


Pembahasan pada subtopik ini sangat menarik karena adanya 2 (dua)
norma yang saling bertolak belakang. 2 (dua) norma yang dimaksudkan yaitu Pasal
4 ayat (2) dan Pasal 5 Permendiknas 30/2009.

Pasal 4 ayat (2) Permendiknas 30/2009 berbunyi:




Perguruan tinggi penyelenggara program studi di luar
domisili wajib menyesuaikan diri dengan Peraturan Menteri ini paling
lambat 2 (dua) tahun sejak ditetapkan Peraturan Menteri ini
.



Sementara itu, bunyi norma Pasal 5 Permendiknas 30/2009:




Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan
.





Dan sesuai dengan tanggal yang tertera pada bagian akhir
Permendiknas 30/2009 tersebut maka tanggal ditetapkannya Permendiknas 30/2009
adalah pada tanggal 1 Juli 2009.














Ditetapkan di
Jakarta

pada tanggal
1 Juli 2009

MENTERI
PENDIDIKAN NASIONAL,

TTD.

BAMBANG
SUDIBYO














Dengan bunyi norma Pasal 4 ayat (2) tersebut maka dapat
ditafsirkan berlakunya Permendiknas 30/2009 tersebut bagi perguruan tinggi yang
telah dan sedang menyelenggarakan kelas jauh adalah paling lambat 2 (dua) tahun
dihitung dari tanggal 1 Juli 2009 yaitu tanggal 1 Juli 2011. Namun kemudian
dengan dibuatnya bunyi norma seperti Pasal 5 tersebut yang bermaksud lain lagi
yaitu dengan menyatakan mulai berlakunya Permendiknas 30/2009 adalah pada
tanggal ditetapkan yaitu tanggal 1 Juli 2009, maka sangat jelas sekali timbul
ketidakpastian hukum dalam hal waktu pemberlakuan.

Belum lagi bila dicermati dan dihubungkan dengan bunyi norma
Pasal 4 ayat (1). Pasal 4 ayat (1) Permendiknas 30/2009 berbunyi :




Penyelenggaraan program studi di luar domisili yang
tidak memenuhi Peraturan Menteri ini dilarang, kecuali penyelenggaraan
Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi guru dalam jabatan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan Bagi Guru
Dalam Jabatan
.



Dengan bunyi norma Pasal 4 ayat (1) Permendiknas 30/2009 yang
seperti ini maka jelas sekali dan mudah ditafsirkan bahwa kelas jauh yang tidak
memenuhi persyaratan adalah dilarang penyelenggaraannya. Namun yang belum jelas
adalah kapan larangan tersebut mulai berlaku ?

Untuk mendapatkan jawaban yang jelas dan pasti tentu harus
didasarkan pada norma yang termuat di dalam peraturan itu sendiri. Nah,
disinilah permasalahannya. Di dalam Permendiknas 30/2009 terdapat 2 (dua) norma
yang mengatur waktu pemberlakuan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa
telah terdapat ketidakpastian hukum dalam hal waktu pemberlakuan, maka dalam
mendapatkan jawaban atas pertanyaan kapankah larangan tersebut mulai berlaku
menjadi sulit. Pasal 4 ayat (1) nya melarang, namun pada ayat (2) memberikan
waktu penyesuaian paling lambat 2 (dua) tahun sejak 1Juli 2009 dan lain lagi
dengan ketentuan Pasal 5 nya yang menyatakan mulai berlaku sejak ditetapkan.
Jelas sekali antar norma tersebut saling bertentangan. Bila norma Pasal 4 ayat
(1) dihubungkan dan disinkronkan dengan norma Pasal 5 maka norma Pasal 4 ayat
(2) seharusnya tidak ada.

Sehingga dengan berdasarkan pembahasan di atas maka dari segi
norma waktu pemberlakuan, telah termuat norma yang dapat menimbulkan multi
tafsir. Kemungkinan multi tafsir tersebut dapat digambarkan sebagai berikut,
yaitu:


  1. Permendiknas ini mulai berlakunya bukan tanggal 1 Juli 2009 tapi (dapat/dimungkinkan)
    sesungguhnya tanggal 1 Juli 2011�!!;

  2. bagi perguruan tinggi yang telah dan sedang menyelenggarakan kelas jauh
    maka Permendiknas ini berlakunya mulai (paling lambat) 1 Juli 2011 dan bukan
    tanggal 1 Juli 2009 �!!;

  3. bagi perguruan tinggi yang baru maka Permendiknas ini mulai berlaku pada
    tanggal 1 Juli 2009 �!!!; dan/atau

  4. penafsiran lainnya

Penafsiran � penafsiran seperti itu tentu juga dilihat dari
sudut mana penilaiannya dan untuk kepentingan apa penafsirannya. Beginilah
akibat bila tidak adanya kepastian hukum dalam sebuah norma yang disusun.

Bila sudah seperti ini maka terhadap pertanyaan tentang
kepastian hukum waktu pemberlakuan Permendiknas 30/2009 menjadi dapat dijawab
adalah tidak jelas. Dan terhadap pertanyaan tentang kenapa normanya dibuat
seperti itu sehingga timbul ketidakpastian hukum maka jawabannya adalah .....
Allahualam (saya tidak tahu) dan sebaiknya mari ditunggu saja waktu berlalu
hingga sampailah kita ke tanggal 1 Juli 2011. Dan apabila tanggal 1 Juli 2011
telah sampai maka segala penafsiran tersebut di atas dengan sendirinya akan
gugur atau sangat diharapkan sebelum tanggal 1 Juli 2011 telah terjadi perubahan
peraturan sehingga terdapat kepastian hukum dalam hal ini.


Diskriminasi Pengaturan


Di samping permasalahan ketidakpastian hukum dalam norma
waktu pemberlakuannya maka juga patut dicermati permasalahan diskriminasi dalam
norma persyaratan penyelenggara kelas jauh. Persyaratan penyelenggaraan
pendidikan tinggi kelas jauh diatur dalam Pasal 3 Permendiknas 30/2009, yang
berbunyi sebagai berikut:



Pasal 3





(1) Penyelenggaraan program studi di luar
domisili wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:


a. program studi di luar domisili
melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi secara utuh,
konsisten, dan berkelanjutan, yang antara lain tercermin
dari penyediaan anggarannya;

b. perguruan tinggi penyelenggara program
studi di luar domisili telah memperoleh akreditasi A untuk
program studi yang sama di domisili perguruan tinggi
tersebut;

c. program studi di luar domisili harus
memperoleh peringkat akreditasi yang sama dengan program
studi di domisili perguruan tinggi paling lambat 3 (tiga)
tahun;

d. program studi di luar domisili
diselenggarakan dengan kebijakan, manual, standar, dan
dokumen penjaminan mutu yang sama dengan program studi di
domisili perguruan tinggi tersebut;

e. penyelenggaraan program studi di luar
domisili dilakukan untuk memenuhi minat calon mahasiswa pada
program studi tersebut yang belum dapat dipenuhi oleh
perguruan tinggi setempat;

f. penyelenggaraan program studi di luar
domisili didukung oleh pemerintah daerah kabupaten/kota
setempat;

g. penyelenggaraan program studi di luar
domisili telah dicantumkan di dalam Rencana Strategis 5
(lima) tahun perguruan tinggi penyelenggara;

h. kurikulum program studi di luar
domisili ditetapkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan
sama dengan kurikulum program studi di domisili perguruan
tinggi tersebut, kecuali diperlukan kekhasan kurikulum untuk
memenuhi kebutuhan setempat;

i. memiliki program kegiatan akademik
yang memuat jurusan/bagian, tujuan, silabi, peraturan
akademik dan administratif, serta standar substansi maupun
prosedur ujian yang dimuat dalam buku pedoman/katalog khusus
untuk program studi di luar domisili;

j. dosen tetap pada setiap program studi
di luar domisili paling sedikit berjumlah 6 (enam) orang
dengan latar belakang pendidikan sama atau sesuai dengan
program studi di luar domisili, dengan rincian sebagai
berikut:











1.
untuk program D I sd. D
IV : 6 (enam) orang
berpendidikan S2;

2.
untuk program S1 : 6
(enam) orang
berpendidikan S2;

3.
untuk program S2 : 6
(enam) orang
berpendidikan S3;

4.
untuk program S3 : 6
(enam) orang
berpendidikan S3, paling
sedikit 2 (dua) orang
diantaranya guru besar;










k. terdapat tenaga kependidikan yang
khusus ditempatkan di program studi di luar domisili sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;

l. mahasiswa pada program studi di luar
domisili paling sedikit 30 (tiga puluh) orang dan paling
banyak wajib memenuhi nisbah dosen tetap dengan mahasiswa:


1. untuk kelompok bidang ilmu
pengetahuan sosial 1 : 30;

2. untuk kelompok bidang ilmu
pengetahuan alam 1 : 20;



m. sumber pendanaan program studi di luar
domisili disediakan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan
untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan program studi
tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

n. memiliki lahan sendiri atau disewa
atau dikontrak untuk jangka waktu paling sedikit 5 (lima)
tahun dengan hak opsi, yang dinyatakan dalam perjanjian;

o. sarana dan prasarana lainnya dimiliki
sendiri atau disewaguna/kontrak untuk jangka waktu paling
sedikit 3 (tiga) tahun meliputi fasilitas fisik pendidikan,
yang dibuktikan dengan sertifikat atau perjanjian dengan
ketentuan minimal:


1. ruang kuliah : 0.5 m2 per
mahasiswa;

2. ruang dosen tetap : 4 m2
per orang;

3. ruang administrasi dan kantor : 4 m2
per orang;

4. ruang perpustakaan dengan jumlah
pustaka sebagai berikut:



a) paling sedikit 120 (seratus
dua puluh) judul buku (hard copy atau soft copy) per
program studi dan setiap judul buku (hard copy)
minimal memiliki 2 (dua) eksemplar; dan

b) paling sedikit 10 (sepuluh)
judul jurnal ilmiah (hard copy) per program studi;



p. memiliki akses pada sumber belajar
digital yang memberikan akses pada minimal 100 (seratus)
jurnal ilmiah digital yang relevan per program studi.


(2) Perguruan tinggi penyelenggara program
studi di luar domisili wajib mengajukan izin kepada Menteri
dengan melampirkan bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1).

(3) Menteri melakukan evaluasi secara berkala
untuk menjamin mutu program studi yang diselenggarakan di luar
domisili.

(4) Dalam hal perguruan tinggi penyelenggara
program studi di luar domisili melanggar Peraturan Menteri ini,
maka Menteri mengambil tindakan berupa:


a. pengurangan atau penghentian bantuan
penyediaan sumberdaya bagi program studi;

b. penghentian penyelenggaraan program
studi; atau


c. pencabutan izin program studi.






Menyimak isi Pasal 3 ayat (1) huruf b Permendiknas 30/2009
yang mensyaratkan bahwa penyelenggara pendidikan tinggi kelas jauh adalah





b. perguruan tinggi penyelenggara program studi
di luar domisili telah memperoleh akreditasi A untuk program studi
yang sama di domisili perguruan tinggi tersebut;





Dengan bunyi norma persyaratan seperti itu maka diartikan
bahwa hanya perguruan tinggi yang telah memperoleh akreditasi A saja yang
diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan tinggi kelas jauh. Bila demikian
adanya maka dengan bunyi norma seperti itu, secara ilmu perundang-undangan telah
terjadi pelanggaran terhadap asas penyusunan materi muatan peraturan
perundang-undangan. Asas yang dilanggar yang dimaksud adalah asas keadilan.

Menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (1) hurug g Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,




Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali
.



Dengan bunyi penjelasan seperti itu maka norma yang
terkandung dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b Permendiknas 30/2009 tersebut
jelas-jelas tidak menaati asas keadilan. Seharusnya siapapun tanpa kecuali
diperkenankan ikut berperan aktif dalam penyelenggaraan pembangunan pendidikan
tinggi di negara hukum yang tercinta ini. Jadi tidak membeda-bedakan.

Dan kalau pun diinginkan alasan demi menjaga mutu pendidikan
tinggi maka bukan pembatasan dalam hal subyek penyelenggara pendidikan tingginya
yang harus dilakukan oleh pemerintah tapi membuat, mengawasi, dan menegakkan
sistim dan mekanisme kontrol atau pengawasan yang ketat terhadap proses
penyelenggaraan kegiatan pendidikan tinggi kelas jauh yang harus sesuai dengan
standar pendidikan nasional dan standar kurikulum serta standar � standar
lainnya. Dengan kata lain bukan formalitas yang diharapkan tapi substansi/materiil-lah
yang utama. Artinya bahwa secara substansi atau materiil lah yang lebih penting
daripada hanya sekedar formalitas awal diatas kertas saja. Bahkan dapat
diperjelas lagi bahwa yang lebih penting dalam menjaga mutu pendidikan tinggi
kelas jauh itu adalah pelaksanaan akreditasi pada proses penyelengaraan
pendidikan tinggi kelas jauh itu sendiri secara langsung daripada berupa sebuah
nilai akreditasi yang hanya tertera pada selembar kertas dan apalagi nilainya
diperoleh dari nilai akreditasi perguruan tinggi induknya.

Bila hanya bersandarkan pada status perguruan tinggi induk
saja maka patut dipertanyakan tentang apakah menjadi jaminan bahwa mutu
pendidikan tinggi kelas jauh itu sendiri adalah juga baik. Padahal perguruan
tinggi induk itu sendiri yang status akreditasinya adalah akreditasi A juga
tidak menjadi jaminan bahwa mutu lulusannya akan lebih baik dari lulusan
perguruan tinggi yang terakreditasi bukan A. Untuk menjawab pertanyaan ini dapat
dikemukakan contoh nyata pada mutu lulusan uji kompetensi dokter. Dengan kata
lain sebagai contoh tidak adanya jaminan mutu pendidikan tinggi dari perguruan
tinggi terakreditasi A akan menghasilkan lulusan yang bermutu dan kompeten,
yaitu dapat dikemukakan bahwa penyelenggara pendidikan tinggi profesi kedokteran
yang meskipun berstatus terakreditasi A dan dari universitas yang telah terkenal
ternyata tingkat kelulusan hasil uji kompetensi dokter para lulusannya tidak
lebih baik atau bahkan ada yang dibawah tingkat kelulusan uji kompetensi para
lulusan dari fakultas kedokteran yang terakreditasi dibawah nilai A dan dari
universitas yang tidak terkenal. Sekedar diketahui bahwa uji kompetensi dokter
tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan dari amanah Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dalam rangka memberikan perlindungan
kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat, dokter dan dokter gigi.

Bila dengan contoh seperti itu yang ternyata perguruan tinggi
yang dengan nilai akreditasi A tidaklah menjadi jaminan bahwa lulusannya akan
pasti bermutu dan berkompeten maka tidak sepantasnyalah dilakukan diskriminasi
kelas atau strata dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi kelas jauh. Bila hal
ini terus dibiarkan oleh pemerintah maka sama saja pemerintah hanya
memperhatikan dan melakukan pengawasan formalitas saja dan bukan dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan tinggi itu sendiri khususnya mutu dan kompetensi
lulusannya.

Oleh karena itu yang seharusnya dilakukan pemerintah ada

Komentar

Postingan populer dari blog ini