PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM

BLU (Badan Layanan Umum)

KONSEPSI DASAR BLU

Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut PPK-BLU, adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Rencana Bisnis dan Anggaran BLU, yang selanjutnya disebut RBA, adalah dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU.
Standar Pelayanan Minimum adalah spesifikasi teknis tentang tolok ukur layanan minimum yang diberikan oleh BLU kepada masyarakat.
Praktek bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan.
TUJUAN DAN ASAS
BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.
Adapun asas-asas dalam BLU adalah
(1)     BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan.
(2)     BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk.
(3)     Menteri/pimpinan lembara/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan.
(4)     Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/ walikota.
(5)     BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.
(6)     Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.
(7)     BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis yang sehat.
PERSYARATAN, PENETAPAN, DAN PENCABUTAN
Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif.
Persyaratan substantif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:
a.     Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
b.    Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau
c.     Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
Persyaratan teknis terpenuhi apabila:
a.     kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya; dan
b.    kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
Persyaratan administratif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen berikut:
a.     pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
b.     pola tata kelola;
c.     rencana strategis bisnis;
d.    laporan keuangan pokok;
e.     standar pelayanan minimum; dan
f.     laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Dokumen tersebut disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk mendapatkan persetujuan sebelum disampaikan kepada Menteri Keuangan/ gubernur/bupati /walikota, sesuai dengan kewenangannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Proses penetapan  PPK-BLU adalah sebagai berikut:
1.    Menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD mengusulkan instansi pemerintah yang memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif untuk menerapkan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya.
2.    Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota menetapkan instansi pemerintah yang telah memenuhi persyaratan untuk menerapkan PPK-BLU.
3.    Penetapan tersebut dapat berupa pemberian status BLU secara penuh atau status BLU bertahap.
4.    Status BLU secara penuh diberikan apabila seluruh persyaratan telah dipenuhi dengan memuaskan.
5.    Status BLU-Bertahap diberikan apabila persyaratan substantif dan teknis telah terpenuhi, namun persyaratan administratif belum terpenuhi secara memuaskan.
6.    Status BLU-Bertahap berlaku paling lama 3 (tiga) tahun.
7.    Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, memberi keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan penetapan BLU paling lambat 3 bulan sejak diterima dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD.
Adapun penerapan PPK-BLU berakhir bila:
a.     dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya;
b.    dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota berdasarkan usul dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya; atau
c.     berubah statusnya menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan.
Pencabutan penerapan PPK-BLU dilakukan apabila BLU yang bersangkutan sudah tidak memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan/atau administratif.
Pencabutan status dilakukan berdasarkan penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:
  1. Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, membuat penetapan pencabutan penerapan PPK-BLU atau penolakannya paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal usul diterima. Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) bulan terlampaui, usul pencabutan dianggap ditolak.
  2. Instansi pemerintah yang pernah dicabut dari status PPK-BLU dapat diusulkan kembali untuk menerapkan PPK-BLU sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 PP No.23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
  3. Dalam rangka menilai usulan penetapan dan pencabutan, Menteri Keuangan/gubernur/ bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, menunjuk suatu tim penilai.
STANDAR DAN TARIF LAYANAN
1.    Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.
2.    Standar pelayanan minimum tersebut dapat diusulkan oleh instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU.
3.    Standar pelayanan minimum harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.
Dalam hal tarif layanan, maka BLU:
1.    BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan.
2.    Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.
3.    Tarif layanan diusulkan oleh BLU kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya.
4.    Usul tarif layanan dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD selanjutnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya.
5.    Tarif layanan harus mempertimbangkan:
a. kontinuitas dan pengembangan layanan;
b. daya beli masyarakat;
c. asas keadilan dan kepatutan; dan
d. kompetisi yang sehat.

PERENCANAAN BISNIS DAN PENGANGGARAN

Tata cara penyusunan, pengajuan, penetapan dan perubahan Rencana Bisnis dan Anggaran serta Dokumen Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 66/PMK.02/2006.
PERENCANAAN
Dalam hal perencanaan, BLU melakukan hal-hal  sebagai berikut:
  1. BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
  2. BLU menyusun RBA tahunan dengan mengacu kepada rencana strategis bisnis tersebut.
  3. RBA disusun berdasarkan basis kinerja dan perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanannya.
  4. RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan APBN/APBD.
  5. RBA tersebut disusun dengan menganut pola anggaran fleksibel (flexible budget) dengan suatu persentase ambang batas tertentu.
PENGAJUAN RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN
Setelah RBA disusun, maka langkah selanjutnya  adalah pengajuan RBA sebagai berikut:
1.    BLU mengajukan RBA kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk dibahas sebagai bagian dari RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD.
2.    RBA disertai dengan usulan standar pelayanan minimum dan biaya dari keluaran yang akan dihasilkan.
3.     RBA BLU yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD diajukan kepada Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, sebagai bagian RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD.
4.    Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengkaji kembali standar biaya dan anggaran BLU dalam rangka pemrosesan RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD sebagai bagian dari mekanisme pengajuan dan penetapan APBN/APBD.
5.    BLU menggunakan APBN/APBD yang telah ditetapkan sebagai dasar penyesuaian terhadap RBA menjadi RBA definitif.
PENETAPAN RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN
  1. Pengkajian kembali RBA dilakukanvoleh Direktorat Jenderal Anggaran.
  2. Pengkajian kembali RBA tersebut  terutama mencakup standar biaya dan anggaran BLU, kinerja keuangan BLU, serta besaran persentase ambang batas.
  3. Adapun besaran persentase ambang batas ditentukan dengan mempertimbangkan fluktuasi kegiatan operasional BLU.
  4. Pengkajian dilakukan dalam rapat pembahasan bersama antara Direktorat Jenderal Anggaran dengan unit yang berwenang pada kementerian/lembaga serta BLU yang bersangkutan.
  5. Hasil kajian atas RBA menjadi dasar dalam rangka pemrosesan RKA-KL sebagai bagian dari mekanisme pengajuan dan penetapan APBN.
  6. Setelah APBN ditetapkan, pimpinan BLU melakukan penyesuaian atas RBA menjadi RBA definitif.

DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN

PENYUSUNAN DIPA BLU
  1. RBA definitif sebagaimana dimaksud dalam poin (6) diatas digunakan sebagai acuan dalam menyusun DIPA BLU untuk diajukan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan.
  2. DIPA BLU memuat seluruh pendapatan dan belanja, proyeksi arus kas, jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa yang dihasilkan, rencana penarikan dana yang bersumber dari APBN, serta besaran persentase ambang batas sebagaimana ditetapkan dalam RBA definitif.
  3. DIPA BLU disampaikan oleh menteri/ pimpinan lembaga kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  4. Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan mengesahkan DIPA BLU selambat-lambatnya tanggal 31 Desember dengan menerbitkan Surat Pengesahan DIPA BLU (SP-DIPA BLU).
  5. Format DIPA BLU diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
PENARIKAN DAN PENGGUNAAN DANA
Dalam pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan nomor 66/PMK.02/2006, disebutkan mengenai penarikan dana BLU, sebagai berikut:
  1. DIPA BLU yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbedaharaan menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN.
  2. Berdasarkan DIPA BLU yang telah disahkan tersebut pimpinan BLU selaku kuasa pengguna anggaran mengajukan Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk:
    1. belanja pegawai dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
    2. belanja barang dilaksanakan setiap triwulan sebesar selisih (mismatch) antara jumlah kas yang tersedia ditambah proyeksi arus kas masuk dikurangi proyeksi arus kas keluar;
    3. belanja modal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  3. Berdasarkan SPM-LS tersebut, KPPN menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) sesuai ketentuan yang berlaku.
Adapun untuk pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat, hibah tidak terikat, serta hasil kerja sama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja operasional BLU sesuai dengan RBA definitif. Sedangkan hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain harus diperlakukan sesuai dengan peruntukannya. (pasal 7 PMK nomor 66/PMK.02/2006).
Dalam rangka pertanggungjawaban penggunaan dana yang bersumber dari pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 PMK nomor 66/PMK.02/2006, setiap triwulan BLU membuat SPM Pengesahan dan disampaikan kepada KPPN selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya dengan dilampiri Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja disertai kuitansi pengeluaran kumulatif yang ditandatangani oleh pimpinan BLU.
Berdasarkan SPM Pengesahan tersebut, KPPN menerbitkan SP2D Pengesahan sebagai dasar realisasi penggunaan dana yang bersumber dari pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan dan pertanggungjawaban penggunaan dana DIPA BLU diatur oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
PERUBAHAN/REVISI TERHADAP RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN
Perubahan/revisi terhadap RBA definitif dan DIPA dilakukan apabila:
  1. terdapat penambahan atau pengurangan pagu anggaran yang berasal dari APBN; dan/ atau
  2. belanja BLU melampaui ambang batas fleksibilitas.

PELAPORAN
Dalam hal pelaporan keuangan, maka:
  1. Setiap triwulan BLU wajib membuat laporan keuangan yang terdiri dari laporan realisasi anggaran/laporan operasional, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan disertai laporan kinerja. Laporan tersebut disampaikan kepada Menteri/ Pimpinan Lembaga dan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan, paling lambat 15 (lima belas) hari setelah periode pelaporan berakhir.
  2. Setiap semesteran dan tahunan BLU wajib membuat laporan keuangan secara lengkap yang terdiri dari laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, disertai laporan kinerja. Laporan tersebut disampaikan kepada Menteri/ Pimpinan Lembaga untuk dikonsolidasikan ke dalam laporan keuangan Kementerian/Lembaga paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir.
Kemudian Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan laporan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan yang dilampiri dengan laporan keuangan dan laporan kinerja BLU paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode pelaporan berakhir.

PENGELOLAAN KAS, UTANG DAN PIUTANG BLU

PENGELOLAAN KAS BLU
Sesuai dengan pasal 16 UU N0 23 Th 2005, pengelolaan kas BLU dilaksanakan berdasarkan praktek bisnis yang sehat. Dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut:
  1. merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas;
  2. melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan;
  3. menyimpan kas dan mengelola rekening bank;
  4. melakukan pembayaran;
  5. mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek; dan
  6. memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Atau dengan kata lain memanfaatkan kas yang menganggur (idle cash) jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan.
Adapun rekening bank dimaksud, dibuka oleh pimpinan BLU pada bank umum. Sedangkan pemanfaatan surplus kas sebagaimana dimaksud diatas  dilakukan sebagai investasi jangka pendek pada instrumen keuangan dengan risiko rendah.
Penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PENGELOLAAN PIUTANG
Dalam pasal 17 UU N0 23 Th 2005, mengenai  pengelolaan piutang BLU disebutkan bahwa BLU dapat memberikan piutang sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, dan/atau transaksi lainnya yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan BLU sepanjang  dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab serta dapat memberikan nilai tambah, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Piutang BLU yang sulit ditagih dapat dilimpahkan penagihannya kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
Pada implementasi selanjutnya, piutang BLU dapat dihapus secara mutlak atau bersyarat oleh pejabat yang berwenang, yang nilainya ditetapkan secara berjenjang.
Adapun kewenangan penghapusan piutang secara berjenjjang tersebut ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PENGELOLAAN UTANG
Mengenai pengelolaan utang BLU, disebutkan dalam 18 UU N0 23 Th 2005 tentang pengelolaan BLU, disebutkan BLU dapat memiliki utang sehubungan dengan kegiatan operasional dan/atau perikatan peminjaman dengan pihak lain sepanjang dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab, sesuai denganpraktek bisnis yang sehat.
Terdapat dua jenis utang BLU, yaitu:
  • Utang jangka pendek
Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka pendek ditujukan hanya untuk belanja operasional.
  • Utang jangka panjang
Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka panjang ditujukan hanya untuk belanja modal.
Perikatan peminjaman dilakukan oleh pejabat yang berwenang secara berjenjang berdasarkan nilai pinjaman. Sedangkan kewenangan peminjamannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota.
Pembayaran kembali utang tersebut merupakan tanggung jawab BLU. Namun hak tagih atas utang BLU menjadi kadaluarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang. Adapun jatuh tempo dihitung sejak 1 Januari tahun berikutnya.

PENGELOLAAN BARANG DAN INVESTASI

PENGELOLAAN BARANG
Berdasarkan Undang-undang nomor 23 tahun 2005 pasal 20, tentang pengelolaan keuangan BLU, pengadaan barang/ jasa oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan ekonomis, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat dimana kewenangan atas pengadaan tersebut diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota.
Dengan kata lain, pengadaan barang/jasa BLU yang sumber dananya berasal dari pendapatan operasional, hibah tidak terikat, hasil kerjasama lainnya dapat dilaksanakan berdasarkan ketentuan pengadaan barang/jasa yang ditetapkan pimpinan BLU, tanpa  mengikuti ketentuan Keppres no. 80 tahun 2003 beserta seluruh perubahannya, dengan mengikuti prinsip-prinsip transparansi, adil,/tidak diskriminatif, akuntabilitas, dan praktis bisnis yang sehat. Sehingga dapat dibebaskan sebagian atau seluruhnya dari ketentuan mengenai pengadaan barang/jasa, dalam kaitannya dengan Kepres no. 80 tahun 2003, dengan alasan efektivitas dan efisiensi.
INVESTASI
Dalam hal investasi, BLU mengenal dua jenis investasi dalam pengelolaan keuangannya, yaitu:
  1. Investasi jangka panjang;
  2. Investasi jangka pendek.
Dana/kas yang dimiliki suatu badan pemerintahan yang menggunakan sistem BLU dalam pengelolaan keuangannya tidak dapat melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas persetujuan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Segala keuntungan yang diperoleh dari pelaksanaan investasi jangka panjang merupakan pendapatan BLU, sehingga diperuntukkan sesuai tujuan dibentuknya sistem pengelolaan keuangan BLU yaitu untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat umum. Investasi jangka panjang yang dimaksud antara lain:
  1. Penyertaan modal;
  2. Obligasi jangka panjang; dan
  3. Investasi langsung (pembentukan perusahaan) atas nama Menteri Keuangan.
Pengelolaan kas BLU dapat pula dilakukan investasi jangka pendek, yang ketentuannya sama seperti pengelolaan investasi jangka pendek pada umumnya. Hal ini dikarenakan badan/instansi  pemerintahan yang menyelenggarakan sistem BLU sebagai asas pengelolaan keuangannya diperkenankan untuk memanfaatkan kas yang menganggur (idle cash) jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Dengan demikian kas yang dimiliki oleh badan/instansi pemerintahan yang telah menerapkan sistem BLU dapat berkembang jumlahnya sehingga dengan jumlah kas yang bertambah diharapkan terjadi peningkatan layanan yang lebih baik keadaan masyarakat umum.

AKUNTANSI DAN PELAPORAN

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan BLU, sistem akuntansi BLU adalah sebagai berikut:
  1. Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen pendukungnya dikelola secara tertib.
  2. Periode akuntansi BLU meliputi masa 1 (satu) tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
  3. Sistem Akuntansi BLU terdiri dari:
    1. Sistem Akuntansi Keuangan
Sistem akuntansi keuangan yang menghasilkan laporan keuangan pokok untuk keperluan akuntabilitas, manajemen, dan transparansi yang dirancang agar paling sedikit menyajikan:
  • informasi tentang posisi keuangan secara akurat dan tepat waktu;
  • informasi tentang kemampuan BLU untuk memperoleh sumber daya ekonomi berikut beban yang terjadi selama suatu periode;
  • informasi mengenai sumber dan penggunaan dana selama suatu periode;
  • informasi tentang pelaksanaan anggaran secara akurat dan tepat waktu; dan informasi tentang ketaatan pada peraturan perundang-undangan.
Sistem akuntansi keuangan BLU memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut:
  • basis akuntansi yang digunakan pengelolaan keuangan BLU adalah basis akrual;
  • sistem akuntansi dilaksanakan dengan sistem pembukuan berpasangan; dan
  • sistem akuntansi BLU disusun dengan berpedoman pada prinsip pengendalian intern sesuai praktek bisnis yang sehat.
Dalam rangka pengintegrasian Laporan Keuangan BLU dengan Laporan Keuangan kementerian negara/lembaga, BLU mengembangkan sub sistem akuntansi keuangan yang menghasilkan Laporan Keuangan sesuai dengan SAP.
BLU mengembangkan dan menerapkan sistem akuntansi keuangan sesuai dengan jenis layanan BLU dengan mengacu kepada standar akuntansi paling sedikit mencakup kebijakan akuntansi, prosedur akuntansi, subsistem akuntansi, dan bagan akun standar
  1. Sistem Akuntansi Aset Tetap
Sistem akuntansi aset tetap, yang menghasilkan laporan aset tetap untuk        keperluan manajemen aset tetap yang paling sedikit mampu menghasilkan:
  • informasi tentang jenis, kuantitas, nilai, mutasi, dan kondisi aset tetap milik BLU; dan
  • informasi tentang jenis, kuantitas, nilai, mutasi, dan kondisi aset tetap bukan milik BLU namun berada dalam pengelolaan BLU.
Dalam pelaksanaan sistem akuntansi aset tetap, BLU dapat menggunakan sistem akuntansi barang milik negara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
  1. Sistem Akuntansi Biaya
Sistem akuntansi biaya, yang menghasilkan informasi biaya satuan (unit cost) per unit layanan, pertanggungjawaban kinerja ataupun informasi lain untuk kepentingan manajerial yang paling sedikit mampu menghasilkan:
  • informasi tentang harga pokok produksi;
  • informasi tentang biaya satuan (unit cost) per unit layanan; dan
  • informasi tentang analisis varian (perbedaan antara biaya standar dan biaya sesungguhnya).
Sistem akuntansi biaya menghasilkan informasi yang berguna dalam:
  • perencanaan dan pengendalian kegiatan operasional BLU;
  • pengambilan keputusan oleh Pimpinan BLU; dan
  • perhitungan tarif layanan BLU.
  1. BLU dapat mengembangkan sistem akuntansi lain yang berguna untuk kepentingan manajerial yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66/PMK.02/2006, bahwa setiap triwulan BLU wajib membuat laporan keuangan yang terdiri dari laporan realisasi anggaran/laporan operasional, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan disertai laporan kinerja yang disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan, paling lambat 15 (lima belas) hari setelah periode pelaporan berakhir.
Selain itu, setiap semesteran dan tahunan BLU wajib membuat laporan keuangan secara lengkap yang terdiri dari laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, disertai laporan kinerja yang disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk dikonsolidasikan ke dalam laporan keuangan Kementerian/Lembaga paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir dan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan yang dilampiri dengan laporan keuangan dan laporan kinerja BLU paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode pelaporan berakhir.

SURPLUS DAN DEFISIT

Berdasarkan PP No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, penggunaan surplus atau defisit adalah sebagai berikut:
Pasal 29:
“Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU.”
Pasal 30:
(1) “Defisit anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun anggaran berikutnya. kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya.”
(2) “Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya dapat mengajukan anggaran untuk menutup defisit pelaksanaan anggaran BLU dalam APBN/APBD tahun anggaran berikutnya.”
Namun dalam BLU sendiri terdapat beberapa masalah yang sebenarnya menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam membuat peraturan perundangan yang ditakutkan pada kemudian hari akan menimbulkan masalah. Masalah-masalah ini dikhawatirkan dapat mengganggu proses kerja BLU secara meyeluruh, sehingga tujuan-tujuan awal BLU yang ditetapkan dikhawatirkan tidak tercapai.
Dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum disebutkan bahwa “Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU”. Surplus anggaran BLU yang dimaksud disini adalah selisih lebih antara pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan laporan keuangan operasional berbasis akrual pada suatu periode anggaran. Surplus tersebut diestimasikan dalam RBA tahun anggaran berikut untuk disetujui penggunaannya.
Padahal sesuai dengan pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa “Surplus penerimaan/negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya”. Selanjutnya pada ayat berikutnya dijelaskan “Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD”. Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa kaidah perlakuan surplus adalah dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Peruntukan lain terhadap surplus anggaran ini harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD. Perbandingan kedua aturan yang mengatur surplus anggaran ini menunjukkan bahwa BLU memiliki daya tawar keuangan yang lebih tinggi dibandingkan Perusahaan Negara/Daerah.
Solusi untuk masalah ini sebenarnya agak susah karena ada dua hal yang bisa diajukan sebagai argumen dalam mempertahankan pendapat mengenai aturan mana yang harus dipakai. Argumen tersebut adalah:
  1. Menurut pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan aturan yang seharusnya dipakai adalah aturan mengenai surplus yang ada di UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hal ini disebabkan karena peraturan yang berada lebih rendah dalam hirarki tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi.
  2. Akan tetapi, mengingat adanya asas lex specialis derogat lex generalis dimana apabila ada aturan yang lebih khusus, maka aturan tersebut mengesampingkan aturan yang bersifat umum, maka aturan mengenai surplus yang harus dipakai adalah aturan khusus yang mengatur tentang BLU yaitu PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum.
Sebenarnya permasalahan seperti di atas tidak perlu terjadi apabila pembuat-pembuat keputusan lebih banyak melakukan pencarian referensi dalam menyusun peraturan, sehingga di kemudian hari tidak diharapkan terjadi lagi pertentangan seperti ini. Pertentangan seperti ini tentu akan merugikan bagi level-level pelaksana peraturan dikarenakan adanya kebingungan dalam memilih aturan mana yang harus dipakai.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PELIHARA ANJING BISA MEMPERPANJANG UMUR DAN MENINGKATKAN KESEHATAN MENTAL

PARIWISATA BALI / MANCING DI BALI BERGESER KE UJUNG TIMUR PULAU BALI

NGABEN..TRADISI KEMATIAN DI BALI